Selipkan Sebaris Do'a untuk Palestina
Penulis : Muhammad Rizqon
Untukmu jiwa-jiwa kami
Untukmu darah kami
Untukmu jiwa dan darah kami
Wahai Al-Aqsha tercinta
Kami akan berjuang
Demi kebangkitan Islam
Kami rela berkorban
Demi Islam yang Mulia
Untukmu Palestina tercinta
Kami penuhi panggilanmu
Untukmu Al-Aqsha yang mulia
Kami kan terus bersamamu
Ya Rabbi, izinkanlah kami
Berjihad di Palestina-Mu
Ya Allah, masukkanlah kami
Tercatat sebagai syuhadaMu
(Palestina Tercinta, Nasyid Shoutul Harokah)
Kadang terbetik sebuah pertanyaan, kenapa orang Islam, ketika menunaikan ibadah haji, menangis ketika berdo'a di hadapan Ka'bah Masjidil Haram atau di hadapan mimbar Masjid Nabawi? Saya kemudian berkesimpulan, karena mereka tidak sekedar melihat Ka'bah atau mimbar itu sebagai benda mati. Mereka melihat rangkaian perjalanan panjang kehidupan yang menyertai keberadaan Baitullah dan Masjid Nabawi itu dan kisah-kisah panjang yang mempertemukan mereka.
Boleh jadi yang terbayang di pelupuk mata seseorang yang berdo'a menghadap Ka'bah adalah keagungan Allah SWT yang bercampur dengan kerendahan dirinya dan dosa-dosa yang telah dilakukannya. Betapa ia merasa menanggung dosa yang begitu tinggi, sedang di hadapannya adalah Allah yang Maha Dahsyat Siksanya sekaligus Maha Pengampun. Betapa ia mengadukan segala kegundahan yang meliputi hidupnya, sedang di hadapannya adalah Allah yang Maha Menyempitkan sekaligus Maha Meluaskan kehidupan. Betapa ia merasa hina, sedangkan di hadapannya adalah Allah yang Maha Menghinakan sekaligus Maha Memuliakan. Kebimbangan di antara khauf dan raja', boleh jadi itulah yang mengahadirkan tangis dan derai air mata.
Demikian halnya ketika seseorang menghadap mimbar Nabi di masjid Nabawi. Boleh yang jadi yang terbayang dipelupuk mata adalah Nabi Muhammad SAW dengan segala keagungan akhlaknya. Ia merasa lemah dalam menanggung beban kehidupan, sedang di hadapannya adalah ingatan akan Muhammad SAW yang juga menanggung beban demikian berat dalam menegakkan risalahnya, namun ia tetap sabar, tabah, dan teguh dalam keimanannya. Beliau memberikan teladan terbaik dalam kehidupan manusia. Amat kasih terhadap kaum mukmin dan bersikap lembut terhadap orang-orang yang memusuhinya, sedang ia begitu jauh dari kemulian akhlak-akhlak Rasulullah SAW tersebut.
Demikian juga dengan Masjid Al-Aqsha, yang pernah menjadi kiblat pertama bagi kaum muslimin. Ia menjadi tempat tujuan Isra' Nabi SAW, dan menjadi titik tolak Mi'raj beliau ke Sidratul Muntaha. Namanya diabadikan dengan jelas di dalam Al-Qur'an yang menjadi pedoman hidup ummat Islam hingga akhir zaman. Pengabadian namanya adalah legalitas dari Rabb pemilik langit dan bumi ini, dan yang Maha Memelihara makhluk-makhluk di dalamnya. Adalah suatu hal yang wajar, jika ummat Islam sedunia memprotes atas upaya Zionis Israel yang selalu berusaha meruntuhkan salah satu dari tiga masjid suci ummat Islam itu, untuk diganti dengan kuil yang diklaim dulunya sebagai tempat bekas kuil mereka berdiri sebelum dihancurkan oleh tentara Romawi. Padahal keberadaan kuil itu tidak didukung oleh bukti historis, hanya mengikuti persangkaan mereka (mitos) belaka.
Jelas-jelas bahwa dalam Masjidil Al-Aqsha adalah masjid yang diakui oleh Allah yang juga menurunkan kitab taurat kepada mereka, tetapi mereka tidak mau mendengarnya. Mereka tetap melakukan penggalian-penggalian di sekitar kompleks Masjid Al-Aqsha yang mengancam fondasi dan runtuhnya Masjid berkubah hijau/biru tua itu (bukan berkubah emas).
Masjid Al-Aqsha tidak hanya milik rakyat Palestina. Ia adalah milik ummat Islam seluruh dunia. Berjihad dengan harta dan jiwa untuk mengembalikan Palestina dari Zionis Israel dan membersihkan dari penjajah adalah wajib bagi seluruh muslim, baik dengan cara persuasif maupun politik. Namun pembebasan Palestina bukanlah perkara mudah, karena menuntut ummat Islam bersatu dan dengan kekuatan aqidahnya tidak membiarkan saudaranya terus dirundung malang.
Ingatan akan hal inilah yang kadang menjadikan seseorang tidak kuasa menahan tangis ketika mendengar ceramah tentang Al-Aqsha. Ia ingat akan kesuciannya, kekejaman zionis untuk melenyapkannya, dan kelemahan ummat untuk membebaskannya. Tangisan itu adalah ekspresi bentuk ketidakberdayaan dan kelemahan manusia di hadapan Allah SWT.
***
Siang itu, di Jum'at pertama dari bulan Ramadhan, saya mendengarkan penuturan khatib tentang kondisi terakhir yang dialami Masjid Al-Aqsha dan saudara-saudara kita di Palestina. Sungguh menggetarkan dada. Rakyat Palestina yang ingin bermunajat di sana, tidak diperbolehkan masuk melainkan yang sudah berusia di atas 45 tahun. Itu pun dengan pengawalan ketat tentara Zionis Israel. Mereka yang tidak diperkenankan masuk, terutama pemuda berusia 30-45 tahun, tentu akan sedih bercampur geram. Bagaimana mungkin Masjid yang Allah telah berikan otoritasnya bagi kaum muslimin, justru mereka dilarang untuk memasukinya.
Allah berfirman, "Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah, "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidil Haram dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh. Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barang siapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya." (QS. 2 : 217).
Baik Masjidil Haram maupun Masjidil Aqsha, keduanya adalah masjid yang disucikan. Maka menembus barikade tentara Zionis yang menghalangi masuknya penduduk Palestina itu, bahkan jika dilakukan di bulan Ramadhan yang diharamkan berperang ini, diperkenankan oleh Allah. Hanya sayang, mereka tidak berdaya dan tidak memiliki kekuatan.
Khatib yang bertutur tentang kondisi Masjidil Aqsha itu, sungguh mampu mengingatkan kembali, khususnya pada diri ini, untuk tidak melupakan nasib Al-Aqsha yang terancam dan nasib saudara-saudara di Palestina yang selalu dirundung penderitaan. Tanpa melupakan kepedulian terhadap nasib penduduk negeri ini yang juga selalu dirundung duka, kepedulian terhadap mereka di Palestina adalah prioritas, meski secara lokal kita bisa melakukan upaya persuasif dan diplomasi politik. Di akhir khutbah, saya tidak kuasa membendung linangan air mata ketika sang khatib memanjatkan bait-bait do'a untuk keselamatan Al-Aqsha dan mujahidin di sana.
Saya tidak cuma menangisi kemuliaan Al-Aqsha yang terinjak-injak, wanita dan anak-anak Palestina yang meradang, dan para pemuda yang terbunuh tanpa perlawanan. Saya juga menangisi diri ini yang kadang terlalu memikirkan diri sendiri dan keluarga, tanpa mau berpikir untuk saudara-saudara di belahan dunia sana yang dihimpit derita. Betapa diri ini selalu lupa untuk menyisihkan sebagian dana, sekecil apa pun, untuk disumbangkan kepada mujahidin Palestina yang menjadi garda terdepan pembelaan terhadap Al-Aqsha.
Betapa diri ini kadang mengeyampingkan masalah Al-Aqsha dengan alasan masih banyak carut-marut yang melanda negeri ini yang perlu diperhatikan. Padahal eksistensi dan nasib ummat Islam secara keseluruhan di muka bumi, ditentukan oleh perlawanan yang berlangsung di sana. Bukankah dengan bisa dihancurkannya Masjidil Aqsha, bisa juga dihancurkan masjid suci lainnya? Jika masjid suci yang mampu membangkitkan semangat juang kaum muslimin itu sudah dihancurkan, maka kaum muslimin menjadi laksana jasad tanpa ruh. Kapan saja bisa dibantai oleh musuh-musuh Islam.
Saya mengajak kaum muslimin untuk menyelipkan do'a pada setiap do'a yang kita panjatkan. ketika habis shalat fardhu, ketika bermunajat di sepertiga malam, atau kapan pun, untuk keselamatan penduduk dan mujahidin di Palestina. Cukup dengan sebaris do'a, "Allahummanshur ikhwana al-mujahidiina fii Filistin (Ya Allah, tolonglah saudara kami mujahidin di Palestina)."
Bagi saya yang imannya masih lemah ini, hanya sebaris do'a itulah yang bisa saya persembahkan. Namun tidak tertutup kemungkinan, jika do'a itu terpanjat oleh jutaan ummat Islam di seluruh dunia, dengan diiringi istighfar, hamdallah, dan shalawat Nabi, Insya Allah, Allah berkenan memberikan pertolongan untuk keselamatan Al-Aqsha yang mulia.
Wallahu a'lam bishshawab.
http://kotasantri.com/pelangi/refleksi/2009/02/05/selipkan-sebaris-doa-untuk-palestina
No comments:
Post a Comment